Bahasa Gaul dalam Perspektif Pragmatik

Bahasa Gaul dalam Perspektif Pragmatik

Oleh: Sawali

Kehadiran bahasa prokem (bahasa gaul) dalam pergaulan sosial di negeri ini agaknya tidak makin menyurut, tetapi justru makin meluas. Ruang-ruang publik makin kuyup dengan idiom-idiom bahasa gaul. Tidak hanya digunakan di kalangan remaja perkotaan, tetapi juga telah merambah ke daerah-daerah pinggiran dan pedesaan akibat mobilitas urbanisasi yang kian sulit terkendali. Para pemuda desa yang berbondong-bondong mengadu nasib ke kota, khususnya Jakarta, secara tidak langsung telah berperan sebagai juru bicara bahasa gaul ketika pulang ke kampung halaman. Mereka memperkenalkan bahasa gaul ke dalam komunitas-komunitas masyarakat pinggiran dan pedesaan, hingga berkembang menjadi bahasa pergaulan kaum remaja. Dalam mengirimkan pesan singkat lewat telepon seluler, misalnya, mereka merasa lebih modern apabila menggunakan singkatan-singkatan berbau bahasa gaul yang agak sulit dipahami oleh kalangan orang tua.

Penggunaan bahasa gaul makin marak ketika tayangan sinetron, komedi, lawak, atau talk show di layar kaca secara masif menginternalisasi bahasa gaul dalam acara-acara tertentu yang beraroma remaja. Bahasa gaul tidak lagi digunakan secara terbatas di kalangan remaja perkotaan, tetapi telah menembus batas-batas pergaulan lintas-wilayah. Lihat saja status dinding yang terpajang di sebuah jejaring sosial. Kaum remaja yang menjadi pengguna media sosial terbesar di negeri ini banyak sekali menggunakan bahasa gaul dalam mengekspresikan statusnya. Bahkan, kaum remaja pemilik akun jejaring sosial akan terstigma sebagai remaja yang “kurang gaul” apabila menggunakan bahasa resmi.

bahasa gaulBerdasarkan catatan wikipedia, perkembangan bahasa prokem Indonesia atau bahasa gaul atau bahasa prokem yang khas Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan/pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di Jakarta.

Kata prokem sendiri merupakan bahasa pergaulan dari preman. Bahasa ini awalnya digunakan oleh kalangan preman untuk berkomunikasi satu sama lain secara rahasia. Agar kalimat mereka tidak diketahui oleh kebanyakan orang, mereka merancang kata-kata baru dengan cara antara lain mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, distribusi fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran. Masing-masing komunitas (daerah) memiliki rumusan sendiri-sendiri. Pada dasarnya bahasa ini untuk memberikan kode kepada lawan bicara (kalangan militer dan kepolisian juga menggunakan).

Belakangan ini bahasa prokem mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa pergaulan anak-anak remaja. Dalam konteks kekinian, bahasa pergaulan anak-anak remaja ini merupakan dialek bahasa Indonesia non-formal yang terutama digunakan di suatu daerah atau komunitas tertentu (kalangan homo seksual atau waria). Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosa-kata yang digunakan dalam komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama Kamus Bahasa Gaul pada tahun 1999.

Bahasa prokem merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam pergaulan anak-anak remaja. Istilah ini muncul pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu ia dikenal sebagai ‘bahasanya para bajingan atau anak jalanan’ disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman.

Saat ini bahasa prokem telah banyak terasimilasi dan menjadi umum digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial, bahkan dalam media-media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan seringkali pula digunakan dalam bentuk pengumuman-pengumuman yang ditujukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja populer. Karena jamaknya, kadang-kadang dapat disimpulkan bahasa prokem adalah bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari, kecuali untuk keperluan formal. Karenanya akan menjadi terasa ‘aneh’ untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain menggunakan bahasa Indonesia formal.

Dalam perspektif pragmatik, bahasa gaul merupakan bagian dari wujud tindak tutur yang diekspresikan oleh seorang penutur untuk mengungkapkan perasaan dan gagasannya kepada mitra tutur. Di dalam peristiwa tutur, ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa itu, di antaranya: (1) latar atau scene, yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur; (2) participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain; (3) end atau tujuan; (4) act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa tutur; (5) key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam mengekspresikan tuturan dan cara mengekspresikannya; (6) instrument, yaitu alat melalui telepon atau bersemuka; (7) norm atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur; dan (8) genre, yaitu jenis kegiatan, seperti wawancara, diskusi, kampanye, dan sebagainya. Ciri-ciri konteks itu mencakupi delapan hal, yaitu penutur, mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian.

Di dalam komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Komponen situasi tutur yang pertama adalah penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan tuturan tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam peristiwa tutur. Di dalam peristiwa komunikasi, peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti. Yang semula berperan sebagai penutur pada tahap berikutnya dapat menjadi mitra tutur, demikian pula sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban.

Komponen situasi tutur yang kedua adalah konteks tuturan. Di dalam tata bahasa konteks tuturan mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut dengan ko-teks, sedangkan konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.

Komponen situasi tutur yang ketiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadi hal yang melatarbelakangi tuturan. Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur merupakan tindakan juga tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Yang berbeda adalah bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit yang berperan adalah tangan dan menendang yang berperan adalah kaki, pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. Tangan, kaki, dan alat ucap adalah bagian tubuh manusia.

Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Mencubit dan menendang adalah tindakan nonverbal, sedangkan berbicara atau bertutur adalah tindakan verbal, yaitu tindak mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal.

Sebagai media berekspresi, bahasa gaul sejatinya tidak akan menimbulkan masalah sepanjang pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi memiliki derajat kesepahaman yang sama terhadap maksud tuturan. Bahkan, penggunaan partikel bahasa prokem, seperti “sih”, “nih”, “tuh”, “dong”, “yah”, atau “deh”, membuat suasana pergaulan terasa lebih “hidup” dan membumi, menghubungkan satu anak muda dengan anak muda lain dan membuat mereka merasa berbeda dengan orang-orang tua yang berbahasa baku. Walaupun pendek-pendek, penggunaan partikel-partikel tersebut memiliki arti yang jauh melebihi jumlah huruf yang menyusunnya. Kebanyakan partikel mampu memberikan informasi tambahan kepada orang lain yang tidak dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia baku, seperti tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana hati/ekspresi pembicara, dan suasana pada kalimat tersebut diucapkan.

Persoalannya akan menjadi lain ketika bahasa gaul digunakan dalam konteks tuturan yang bukan pada tempatnya. Akan menjadi sebuah persoalan serius apabila seorang remaja yang mengirimkan pesan singkat kepada orang tuanya menggunakan bahasa gaul, lebih-lebih ketika terlibat dalam proses komunikasi langsung.

Penggunaan bahasa dalam komunikasi memang bersifat arbitrer dan manasuka. Maraknya penggunaan bahasa gaul dalam konteks komunikasi kekinian bisa dipahami sebagai ekspresi kaum remaja yang bersifat pragmatis untuk menciptakan situasi pergaulan yang lebih cair dan akrab. Meskipun demikian, sungguh celaka apabila dalam situasi formal, para penutur bersikap latah menggunakan bahasa gaul. Sanksi formal memang tidak ada. Namun, ketaatasasan terhadap penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar perlu terus dijaga. Pengunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar membawa implikasi bahwa kita perlu bertindak tutur sesuai dengan konteks tuturan. Kepada siapa kita berbicara, topik apa yang dibicarakan, dan dalam situasi apa kita berbicara, perlu dijadikan sebagai pertimbangan utama bagi seorang penutur dalam berekspresi. Jangan sampai kita mencederai proses dan interaksi sosial akibat penggunaan ragam berbahasa yang tidak sesuai dengan konteks tuturan.

Sebagai sarana untuk membangun karakter bangsa, sudah saatnya penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar terus dibumikan dalam konteks pergaulan sehari-hari, baik dalam situasi formal maupun non-formal. Maraknya penggunaan bahasa gaul dalam konteks interaksi sosial perlu dimaknai sebagai bagian dari dinamika sosial yang bersifat temporer. Bahasa akan terus berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat penuturnya. Penggunaan bahasa Indonesia secara tertib, teratur, dan taat asas akan mencerminkan perilaku dan kultur bangsa kita di tengah kancah kesejagatan. ***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *