Contoh Proposal PTK Bahasa Indonesia SMP

IV.        RUANG LINGKUP

Penelitian ini meliputi ruang lingkup sebagai berikut.

4.1         Keterampilan Bercerita dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP.

4.2         Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP.

V. HASIL YANG DIHARAPKAN

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

5.1         para guru bahasa Indonesia dapat mengetahui langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan bercerita, khususnya bagi siswa SMP;

5.2         keterampilan bercerita siswa kelas VII-A SMP 2 Pegandon, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, yang menjadi subjek penelitian ini mengalami peningkatan yang signifikan;

5.3         para guru bahasa Indonesia SMP diharapkan menggunakan pendekatan pragmatik dalam menyajikan aspek keterampilan berbicara, bahkan guru bahasa Indonesia di tingkat satuan pendidikan yang lebih rendah, seperti SD/MI, atau yang lebih tinggi, seperti SMA/SMK/MA, diharapkan juga menggunakan hasil penelitian ini dalam upaya melakukan inovasi pembelajaran Bahasa Indonesia.

VI.        KAJIAN TEORI

Untuk mengkaji penggunaan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan keterampilan bercerita bagi siswa SMP digunakan teori yang berkaitan dengan keterampilan bercerita dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dan teori yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya meningkatkan keterampilan bercerita bagi siswa SMP.

Keterampilan Bercerita dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP

Saat ini, arah pembinaan bahasa Indonesia di sekolah dituangkan dalam tujuan pengajaran bahasa Indonesia yang secara eksplisit dinyatakan dalam kurikulum. Secara garis besar, tujuan utama pengajaran bahasa Indonesia adalah agar anak-anak dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Itu berarti agar anak-anak mampu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dengan baik menggunakan media bahasa Indonesia (Samsuri, 1987 dan Sadtono, 1988).

Melalui harapan tersebut, pengajaran bahasa Indonesia dikelola agar anak-anak memiliki keterampilan-keterampilan praktis berbahasa Indonesia, seperti (1) menulis laporan ilmiah atau laporan perjalanan, (2) membuat surat lamaran pekerjaan, (3) berbicara di depan umum atau berdiskusi, (4) berpikir kritis dan kreatif dalam membaca, atau (5) membuat karangan-karangan bebas untuk majalah, koran, surat-surat pembaca, brosur-brosur, dan sebagainya. Apa pun bahan atau aturan-aturan bahasa  yang diberikan kepada anak-anak, dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis semacam itu.

Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor  22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.

Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.

Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik  untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.

Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia semacam itu diharapkan: (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan  intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Sedangkan, ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek: (1) mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan (4) menulis.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib dikembangkan di SMP. Keterampilan berbicara memiliki posisi dan kedudukan yang setara dengan aspek keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis.

Sementara itu, standar kompetensi dan kompetensi dasar keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP/MTs kelas VII semester I  berdasarkan Standar Isi dalam lampiran Peraturan Mendiknas Nomor 22/2006 seperti tercantum dalam tabel 6.1 berikut ini.

Tabel 6.1   Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Keterampilan Berbicara Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs Kelas VII Semester I

 

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Berbicara

2. Mengungkapkan pengalaman dan informasi melalui kegiatan bercerita dan menyampaikan pengumuman

2.1 Menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif

2.2. Menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana

 

Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa pada semester I, siswa kelas VII SMP diharapkan mampu mengembangkan dua kompetensi dasar, yaitu: (1) menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif; dan (2) menyampaikan pengumuman dengan intonasi yang tepat serta menggunakan kalimat-kalimat yang lugas dan sederhana. Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengembangkan kompetensi dasar siswa kelas VII semester I dalam menceritakan pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat efektif.

Fokus penelitian ini relevan dengan kegiatan pembelajaran aspek keterampilan berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP yang diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk: (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku secara lisan; (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; (3) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan  intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed. 1996:144) dijelaskan bahwa berbicara adalah “berkata; bercakap; berbahasa, atau melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan, dsb.) atau berunding”. Sementara itu, Tarigan (1983:15) dengan menitikberatkan pada kemampuan pembicara menyatakan bahwa berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, seta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya, berbicara dinyatakan sebagai suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.

Hal senada juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara merupakan sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan otot-otot dan jaringan otot manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara juga dipahami sebagai bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikis, neurologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat digunakan sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.

Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa berbicara pada hakikatnya merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Dalam konteks demikian, keterampilan berbicara bisa dipahami sebagai keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan jeda. Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, aktivitas berbicara dapat diekspresikan dengan bantuan mimik dan pantomimik pembicara.

Merujuk pada pendapat tersebut, keterampilan bercerita pada hakikatnya merupakan keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan kepada orang lain.

Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara di SMP

Menurut Halliday (1975) siswa itu belajar berbahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Pengembangan bahasa pada anak memerlukan kesempatan menggunakan bahasa. Oleh karena itu, kita membutuhkan lingkungan pendidikan yang memberikan kesempatan yang banyak atau kaya bagi siswa untuk menggunakan bahasa di dalam cara-cara yang fungsional (Gay Su Pinnel dan Myna L. Matlin, 1989:2).

Guru yang memberi siswa kesempatan mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang kompleks akan meningkatkan pembelajaran karena mereka (guru) memberi siswa pelatihan di dalam keterampilan yang terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Komunikasi adalah inti pengajaran language arts, sementara itu tugas-tugas komunikasi yang kompleks adalah inti kemahirwacanaan tingkat tinggi (high literacy) (CED, 2001).

Selanjutnya, guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran terpadu melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata dapat meningkatkan pembelajaran karena mereka (siswa) menggunakan proses-proses yang saling berkaitan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk komunikasi alamiah senyatanya (authentic commmunication) (Salinger, 2001).

Namun, secara jujur harus diakui bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP belum berlangsung seperti yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih cenderung bersifat teoretis dan kognitif daripada mengajak siswa untuk belajar berbahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata. Akibatnya, apa yang diperoleh siswa di kelas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pembelajaran Bahasa Indonesia terlepas dari konteks pengalaman dan lingkungan siswa. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap keterampilan siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan konteks komunikasi.

Apa yang kita amati dari hasil pembelajaran di sekolah dasar dan menengah di Indonesia adalah ketidakmampuan anak-anak menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan sehari-hari (Direktorat SLTP, 2002). Apa yang anak-anak peroleh di sekolah, sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang rendah. Siswa hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara keterkaitan antara fakta-fakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka kuasai.

Dalam konteks demikian, diperlukan upaya serius melalui penggunaan pendekatan yang inovatif dan kreatif agar pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP bisa berlangsung dalam suasana yang kondusif, interaktif, dinamis, terbuka, menarik, dan menyenangkan. Melalui proses pembelajaran semacam itu, siswa diharapkan dapat menumbuhkembangkan kemampuan intelektual, sosial, dan emosional, sehingga mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sesuai dengan konteks dan sitiuasinya.

Hal itu sejalan dengan pernyataan dalam lampiran Peraturan Mendiknas RI Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya  yang berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP/MTs. Dalam lampiran tersebut secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.

Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu menciptakan suasana yang kondusif; interaktif, dinamis, terbuka, inovatif, kreatif, menarik, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik.

Pendekatan pragmatik termasuk salah satu pendekatan komunikatif yang mulai digunakan dalam pengajaran bahasa sejak munculnya penolakan terhadap paham behaviorisme melalui metode Drill-nya. Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa dirintis oleh Michael Halliday dan Dell Hymes. Hymes menciptakan istilah communicative competence, yaitu kompetensi berbahasa yang tidak hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks sosial (Zahorik dalam Kurikulum 2004: Naskah Akademik Mata pelajaran Bahasa Indonesia 2004:4).

Proses pemerolehan bahasa mempersyaratkan adanya interaksi yang bermakna dalam bahasa sasaran. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemerolehan bahasa dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Chaika, l982). Faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan bahasa seseorang, sedangkan faktor internal berkaitan dengan keadaan intern di dalam diri pelahar bahasa. Faktor eksternal masih dipilah menjadi dua macam lagi, yaitu lingkungan bahasa makro dan lingkungan bahasa mikro. Lingkungan makro terdiri atas (1) kealamiahan bahasa, (2) peranan anak-anak dalam berkomunikasi, (3) tersedianya sumber yang dapat membetulkan untuk menjelaskan makna, dan (4) ketersediaan model atau contoh yang bisa ditiru. Lingkungan mikro adalah keadaan lingkungan kelas tempat anak-anak belajar, yaitu bagaimana guru bisa menciptakan kelas agar anak-anak bisa belajar keterampilan berbahasa, bukan hanya tahu tentang bahasa saja.