Kembali ke KTSP, Mengapa Jadi Repot?

Setelah menerima rekomendasi dari Tim Evaluasi Implementasi Kurikulum, serta diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, akhirnya Mendikbud, Anies Baswedan, mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 179342/MPK/KR/2014 tanggal 5 Desember 2014 tentang Pelaksanaan Kurikulum 2013. Ada tiga poin penting yang disampaikan dalam surat edaran tersebut.

kur13Pertama, menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru menerapkan satu semester, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2014/2015. Sekolah-sekolah ini supaya kembali menggunakan Kurikulum 2006. Bagi Ibu/Bapak kepala sekolah yang sekolahnya termasuk kategori ini, mohon persiapkan sekolah untuk kembali menggunakan Kurikulum 2006 mulai semester genap Tahun Pelajaran 2014/2015. Harap diingat, bahwa berbagai konsep yang ditegaskan kembali di Kurikulum 2013 sebenarnya telah diakomodasi dalam Kurikulum 2006, semisal penilaian otentik, pembelajaran tematik terpadu, dll. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi guru-guru di sekolah untuk tidak mengembangkan metode pembelajaran di kelas. Kreatifitas dan keberanian guru untuk berinovasi dan keluar dari praktik-pratik lawas adalah kunci bagi pergerakan pendidikan Indonesia.

Kedua, tetap menerapkan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang telah tiga semester ini menerapkan, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2013/2014 dan menjadikan sekolah-sekolah tersebut sebagai sekolah pengembangan dan percontohan penerapan Kurikulum 2013. Pada saat Kurikulum 2013 telah diperbaiki dan dimatangkan lalu sekolah-sekolah ini (dan sekolah-sekolah lain yang ditetapkan oleh Pemerintah) dimulai proses penyebaran penerapan Kurikulum 2013 ke sekolah lain di sekitarnya. Bagi Ibu dan Bapak kepala sekolah yang sekolahnya termasuk kategori ini, harap bersiap untuk menjadi sekolah pengembangan dan percontohan Kurikulum 2013. Kami akan bekerja sama dengan Ibu/Bapak untuk mematangkan Kurikulum 2013 sehingga siap diterapkan secara nasional dan disebarkan dari sekolah yang Ibu dan Bapak pimpin sekarang. Catatan tambahan untuk poin kedua ini adalah sekolah yang keberatan menjadi sekolah pengembangan dan percontohan Kurikulum 2013, dengan alasan ketidaksiapan dan demi kepentingan siswa, dapat mengajukan diri kepada Kemdikbud untuk dikecualikan.

Ketiga, mengembalikan tugas pengembangan Kurikulum 2013 kepada Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pengembangan Kurikulum tidak ditangani oleh tim ad hoc yang bekerja jangka pendek. Kemdikbud akan melakukan perbaikan mendasar terhadap Kurikulum 2013 agar dapat dijalankan dengan baik oleh guru-guru kita di dalam kelas, serta mampu menjadikan proses belajar di sekolah sebagai proses yang menyenangkan bagi siswa-siswa kita.

Dengan keluarnya surat edaran ini, sekolah-sekolah non-piloting yang baru melaksanakan Kurikulum 2013 (K-13) selama satu semester harus kembali ke KTSP. Ini artinya, K1-3 hanya diterapkan di 6.221 sekolah di 295 kabupaten/kota seluruh Indonesia dengan rincian 2.598 sekolah dasar, 1.437 Sekolah Menengah Pertama, 1.165 Sekolah Menengah Atas, dan 1.021 Sekolah Menengah Kejuruan. Tentu ada respon beragam. Ada yang senang, tetapi tidak sedikit juga yang kecewa. Senang lantaran hambatan-hambatan teknis implementasi K-13 yang selama ini dinilai cukup merepotkan, khususnya bagi guru, akhirnya tereliminir. Kecewa lantaran jerih-payah guru dan peserta didik selama satu semester jadi sia-sia. Pelatihan dan pendampingan “berdarah-darah” yang telah dilaksanakan selama ini jadi sirna tanpa bekas.

Ruang-ruang belajar agaknya akan kembali sepi dari aktivitas 5+1 M (Menanya, Mengamati, Mengumpulkan data, Menyimpulkan, Mengomunikasikan, dan + Mencipta) –meski KTSP juga sangat memungkinkan untuk melakukan aktivitas semacam itu. Laporan hasil belajar peserta didik pun nanti akan jadi ganda. Kelas 7 memiliki rapor model K-13 (semester I) dan KTSP (semester II). Yang lebih repot tentu siswa kelas 8. Mereka memiliki rapor kelas 7 versi KTSP, kelas 8 versi K-13 (semester I) dan kembali memiliki rapor versi KTSP (semester II).

Ya, ya, memang repot. Meski demikian, kita bisa memahami kerumitan Tim Evaluasi Implementasi Kurikulum ketika harus memberikan sejumlah pilihan kepada Mendikbud. Mereka bukan orang-orang “teknis” yang bisa dengan cermat memahami persoalan-persoalan teknis dan dampaknya di sebuah insitusi pendidikan. Mereka adalah orang-orang akademis yang lebih banyak memahami persoalan-persoalan generik ketimbang hal-hal teknis yang dihadapi oleh institusi pendidikan. Yang lebih repot lagi adalah ketika peserta didik yang saat ini duduk di bangku kelas VII dan VIII harus menghadapi ujian. Haruskah materi pembelajaran K-13 yang telah diperoleh selama satu semester “dianulir” sebagai materi ujian? Ataukah kembali diberikan program matrikulasi materi pembelajaran KTSP?

Implikasi sosial yang kemungkinan bisa terjadi ketika K-13 hanya diterapkan  di sekolah-sekolah piloting adalah munculnya diskriminasi perlakuan terhadap sebuah institusi pendidikan. Sekolah yang melaksanakan K-13 dinilai sebagai sekolah “hebat”, baik guru maupun peserta didiknya. Sebaliknya, sekolah yang harus kembali melaksanakan KTSP dinilai sebagai sekolah “kelas rendah” alias kelompok “medioker” karena dianggap tidak sanggup melaksanakan K-13. Kebijakan ini secara sosial juga akan berdampak terhadap peserta didik dalam pergaulan sosialnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Meskipun demikian, kita juga bisa memahami kalau Mendikbud pada akhirnya harus mengeluarkan kebijakan “pahit” ini ketika suara-suara yang menentang pelaksanaan K-13 cukup gencar gaungnya di berbagai media. ***

Sumber: sawali.info

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *